Ticker

6/recent/ticker-posts

Melatih Kecerdasan Emosi Anak

Sampai sejauh ini belum ada literatur yang secara spesifik yang membicarakan tentang bagaimana cara guru melatih kecerdasan emosi anak didiknya. Kebanyakan litelatur yang beredar lebih menyoroti tentang bagaimana cara orang tua membina EQ anak-anaknya. Seperti bukunya Maurice J. Elias dkk dengan bukunya “Cara efektif Mengasuh Anak dengan EQ” dan bukunya Joan Gottman dan Jean  De Claire dalam bukunya “Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki EQ” (1992).


Sebagai Joan Gottman dan Jean De Claire, mengidentifikasikan empat tipologi orang tua dalam menyikapi ungkapan emosi-emosi anak mereka beserta dampaknya yaitu:
a.  Orang tua yang mengabaikan

Mereka tidak menghiraukan dan menganggap sepi atau meremehkan emosi-emosi negatif anak. Akibatnya anak menganggap bahwa perasaan-perasaan itu keliru, tidak tepat atau tidak sah. Mereka mungkin merasakan ada yang salah dari perasaannya dan mungkin juga menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi mereka sendiri
b.  Orang tua yang tidak menyetujui

Mereka bersikap kritis terhadap ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka. Akibatnya bagi anak adalah sama denga tipologi pertama.
c.  Orang tua yang Laizees

Mereka menerima emosi anak-anak mereka dan berempati tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas-batas tingkah laku anak mereka. Akibatnya, anak tidak belajar mengatur emosi mereka, menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, dan sulit menjalin persahabatan atau bergaul dengan orang lain.
d.  Orang tua yang berperan sebagai pelatih emosi

Mereka menghargai emosi-emsi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab, berempati dengan emosi yang dialami anak, namun mereka membimbing dan menentukan batas-batas tingkah laku anak-anak mereka. Akibatnya, anak belajar mempercayai perasaan perasaanya, mengatur emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalahnya. Mereka juga mempunyai harga diri yang tinggi dan bergaul dengan orang lain secara baik 
Di bagian lain, pada buku yang sama Gottman dan De Claire juga menjelaskan lima prinsip dasar bagi orang tua dalam melatih kecerdasan emosional anak, yaitu:   
a.  Menyadari emosi anak

Langkah pertama melatih anak merasakan emosi yang ada dalam diri orang tua itu sendiri ketika anak mengalami masalah emosional. Menyadari emosi diri sendiri sebelum merasakan emosi anak bukan berarti merubah secara frontal karakter pribadi orang tua atau mengungkapkan secara membabi buta apa yang mereka rasakan kepada anak, melainkan mengenali kapan orang tua merasakan suatu emosi, mengidentifikasikan perasaan-perasaannya, dan peka terhadap hadirnya emosi pada orang lain.
b. Mengakui emosi anak dan memanfaatkannya sebagai peluang untuk membangun kedekatan dan mengajar kecerdasan emosional pada anak.

Adalah penting bagi orang tua memanfaatkan saat-saat kritis yang terjadi pada anak seperti nilai lapor yang buruk, pergaulan yang terganggu, atau pengalaman-pengalaman negatif lainnya, untuk berempati dan membangun kedekatan serta mengajari cara-cara mengatasi perasaan tersebut kepada anak. Kemampuan selain banyak menolong anak menangani perasaan-perasaannya juga merupakan wujud konkrit dari tanggung jawab orang tua terhadap anak.
c.  Mendengarkan dan empati dan meneguhkan perasaan anak

Langkah ketiga ini merupakan langkah terpenting dalam melatih kecerdasan emosi anak. Mendengarkan dengan emosi berbeda dengan sekedar mengumpulkan data-data lewat telinga. Mendengarkan dengan empati berarti mengunakan mata untuk mengamati petunjuk  fisik anak, menggunakan imajinasi untuk melihat situasi dari titik pandang anak, menggunakan kata-kata untuk merumuskan kembali, menenangkan dan tidak mengancam, memberi pertolongan kepada anak untuk menamai (naming or labiling), dan akhirnya menggunakan hati untuk merasakan apa yang dirasakan anak.
d.  Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata
Langkah ini mudah dan sekaligus sangat penting. Dalam melatihemosi anak, orang tua perlu menolong anak memberi nama emosi-emosi  mereka sewaktu emosi-emosi tersebut timbul, misalnya; tegang, cemas, sakit hati, marah dan sebagainya. Dengan cara ini pula, anak-anak ditolong untuk mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, mempunyai batas-batas, serta merupakan hal yang wajar dalam kehidupan sehari-hari.
e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalahnya.
Langkah-langkah ini meliputi lima tahap, yaitu:
1) Menetukan batas-batas

Anak-anak perlu memahami bahwa perasaan mereka bukanlah masalah, tapi yang menjadi masalah adalah perilaku-perilaku mereka yang keliru. Semua parasaan dan hasrat itu dapat diterima tidak semua tingkah laku mereka dapat diterima. Oleh karenanya, tugas orang tua adalah menentukan batas-batas terhadap tindakan-tindakan anak bukan terhadap hasrat-hasratnya.
2) Menentukan sasaran

Untuk mengidentifikasi suatu sasaran disekitar penyelesaian masalah yang dihadapi anak, orang tua perlu bertanya kepada anak mengenai apa yang diinginkannya berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Seringkali timbulnya perilaku-perilaku negatif pada anak disebabkan masalah yang sepele, namun mereka tidak dapat menjelaskannya. Oleh karenanya, dengan menuntun anak-anak menemukan sasaran disekitar masalah akan membantu mereka mengatasi masalah tersebut.
3) Memikirkan pemecahan masalah yang mungkin

Setelah menetapkan sasaran yang tepat, orang tua dapat bekerja sama dengan angka memikirkan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri bagi anak karena memungkinkanya menemukan pemecahan alternatif. Tetapi penting sekali bagi orang tua menahan diri agar tidak mengambil alih masalah anak dan tetap mendorong anak mengemukakan gagasan-gagasan mereka.

Anak-anak yang masih kecil orang tua dapat menyampaikan pemecahan masalah melalui permainan-permainan yang akrab dengan anak. Sedangkan anak yang lebih besar, orang tua dapat menggunakan proses sumbang saran. Mereka membiarkan anaknya menyampaikan ide-idenya tanpa dibatasi.
4) Mengevaluasi pemecahan masalah yang diusulkan berdasarkan nilai-nilai keluarga

Setelah orang tua terlibat bersama anak mengemukakan gagasan-gagasannya. Mereka juga harus mendorong anak merenungkan setiap pemecahan secara terpisah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini; apakah pemecahan itu berhasil?, apakah pemecahan itu aman?, apa akibat dari pemecahan itu?, dan berbagai pertnayaan lainya. Hal ini membantu anak menjajaki pemecahan masalah yang akan dipilihnya.
5) Membantu anak memilih pemecahan masalah

Ketika pemecahan masalah telah dipilih bersama, orang tua juga perlu mendorong anak-anaknya mencoba pemecahan masalah tersebut.

Demikian kelima prinsip dalam melatih kecerdasan emosional anak yang dikemukakan oleh oleh Gottman dan Claire. Dimana prinsip-prinsip tersebut juga dapat diterapkan guru dalam melatih EQ murid-muridnya di sekolah. Tetapi ada perbedaan-perbedaan yang fundamental antara kondisi yang dihadapi guru di sekolah. Orang tua hanya menghadapi anak-anaknya sendiri yang semenjak lahir telah mereka ketahui bagaimana pertumbuhan fisik dan perkembangan emosinya. Orang tua relatif mengetahui bagaimana pola-pola penyimpangan emosi yang terjadi pada anak-anak mereka. Sebaliknya para guru menghadapi anak-anak yang berbeda dalam berbagai hal dan mereka tidak memiliki pengalaman yang spesifik tentang perkembangan emosi masing-masing muridnya. 

Selanjutnaya, materi yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya lebih berorientasi kepada nilai-nilai moralitas dan sosial, sedangkan para guru selain menanamkan moralitas kepada murid-muridnya, mereka juga berkewajiban mengajarkan pengetahuan kognitif dan ketrampilan psikomotorik. Dengan kata lain, kondisi yang dihadapi guru di kelas adalah lebih kompleks dibandingkan dengan kondisi orang tua di rumah.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa guru tidak mungkin menyediakan waktu khusus untuk melatih EQ murid-muridnya. Mereka dapat mengembangkan EQ murid-muridnya dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari. Walaupun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa emosi adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan belajar siswa.

Post a Comment

0 Comments