Ticker

6/recent/ticker-posts

Kisah Hikmah dari Anak Penjual Koran

Sejak pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas kini terasa sangat dingin. Dijalanan hanya sesekali mobil yang lewat, mungkin karena hari ini hari libur hingga membuat orang-orang malas untuk keluar rumah.


Di perempatan jalan, Umar, seorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah. Dia membiarkan tubuhnya terguyur hujan dengan tetap memegang erat gulungan plastik untuk melindungi dagangannya. “Koran bu!” seru Umar berusaha mengalahkan suara hujan.

Dari balik kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar uang kertas sepuluh ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang. “Mau koran yang mana bu?” tanya Umar dengan riang. ”Nggak usah, ini buat kamu, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca”, jawab si ibu.

Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang sepuluh ribu yang dia terima, ”Terima kasih bu, saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”, balas Umar dengan raut wajah tulus.

Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya berubah kesal dan dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. ”Udah miskin sombong!” ucap ibu itu sembari menginjak pedal gas dan berlalu meninggalkan penjual koran yang basah kuyup.

Umar berlari lagi ke pinggiran toko dan merapatkan tubuhnya ke dinding. Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan di depannya, ”Ya Tuhan, hari ini belum satupun koranku yang laku”.

Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda. Umar masih saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah, ”Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk”. Dengan penuh kebencian dicampakkannya satu plastik gorengan kedalam tong sampah dan kembali masuk ke mobil.

Lalu dengan langkah cepat Umar menghampiri, ”Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapak buang?”, pinta Umar dengan penuh harap.

Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil ini. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan iba dari dalam hatinya. “Nak, bapak bisa belikan kamu makanan yang baru kalau kamu mau”, ucap bapak itu.

”Terima kasih pak, sekantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya, boleh kan pak?” jawab Umar.

”Bbbbbooolehh”, jawab pria tersebut terbata-bata karena terpana akan kejadian ini.

Umar berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.

Dari dalam mobil sang bapak terus menatap Umar yang sedang makan. Lalu dengan perasaan berkecamuk didekatinya Umar. ”Nak, bolehkah bapak bertanya? Kenapa kamu harus meminta ijin untuk mengambil makanan yang sudah bapak buang?”.

”Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, itulah sebabnya saya pantas meminta ijin untuk memakannya ”, jawab Umar sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.

Pria itu terdiam sejenak, dalam hatinya berkata, anak ini sangat luar biasa. ”Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya?”.

Umar tersenyum manis, ”Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki. Buat saya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya menerima tawaran makanan lain dari bapak maka sekantong gorengan ini menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan membusuk tanpa berguna bagi siapapun”.

”Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan direstoran dimana aku yang akan mentraktirnya?”, ujar sang bapak dengan intonasi lebih tinggi karena merasa anak didepannya berfikir keliru.

Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yang sangat teduh, ”Bapak!, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini ditambah lagi makanan itu menjadi halal karena bapak mengijinkan saya untuk memakannya”.

Lalu Umar memperbaiki posisi dan berkata lagi, ”Saya merasa bahagia dan kebahagiaan itu adalah ungkapan rasa syukur dan merasa cukup atas anugerah yang didapat. Bukan dengan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali dikemudian hari”.

Umar menjabat dan mencium tangan pria di depannya untuk berpamitan sambil berkata ”Kalau hari ini saya makan direstoran dan menikmati kelezatannya lalu esok hari saya menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya”.

Pria itu masih saja terpana. Dipandanginya terus anak kecil yang melangkah pergi bersama jutaan makna dalam kesahajaannya. Bocah penjual koran itu memberi pesan berharga buatnya hari ini.

”Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, akulah yang lebih pantas dikasihani karena aku jarang bisa berdamai dengan hari dan mensyukuri segala yang ada didalamnya” batin pria itu.

Semoga sahabat semuanya dapat mengambil Hikmah dibalik cerita tersebut,
Semoga hari ini menjadi lebih baik dari Kemarin...


Sumber:http://amalimuadz.blogspot.com/2012/05/kisah-hikmah-dari-anak-penjual-koran.html#more

Post a Comment

0 Comments