Ticker

6/recent/ticker-posts

Mencari Presiden Untuk Guru Swasta

Oleh: Arif Purwanto, Publish on: 1 April 2014 00:00 wib
            Sewaktu masih duduk di bangku SMA saya berfikir tentang ‘penderitaan’ guru di SMA lain. Beberapa guru seringkali mengeluh tentang kemalasan dan kenakalan kami. Bahkan, seorang guru pernah menitikkan air mata. Padahal sekolah kami adalah salah satu dari tiga terbaik sekolah di kotaku yang setiap tahun bertukar peringkat. Sekolah favorit dengan benih-benih pilihan. Lalu, bagaimana guru-guru yang mengajar di SMA tetangga yang kekurangan siswa dan menerima siswa tanpa seleksi? Bahkan, benih terbaik di SMA tetangga masih lebih rendah kualitasnya dari benih terburuk di sekolah kami. Bagaimanakah caranya guru-guru mereka menghasilkan siswa seperti kami dengan nilai Matematika dan Fisika di atas 80? Jangan salah, dengan sedikit kenakalan itu, nilai kami tetap bagus.
            Pikiran lain yang melayang saat itu adalah bagaimana jika guru-guru swasta di SMA tetangga bertukar mengajar dengan guru-guru negeri di SMA kami? Guru manakah yang sebenarnya lebih kompetitif dan berkualitas? Saat kami dimarahi, maka kami akan bergegas mengerjakan tugas. Namun, lain dengan siswa-siswa tetangga, sebagian mereka sama sekali tidak peduli dengan tugas-tugas. Belum lagi, soal perilaku gaduh di kelas, bolos, berkelahi dan lainnya.
            Sekarang saya paham benar bahwa guru-guru di sekolah swasta sangat menderita. Kami mengabdi dengan honor yang sulit diterima dengan akal sehat. Memang, bagi sebagian guru honor di sekolah swasta yang memiliki lokasi strategis di perkotaan hidup cukup sejahtera. Namun, guru yang mengabdi di sekolah/madrasah di desa-desa tidak punya pilihan untuk memanusiakan diri sendiri.
Selama sebulan, banyak di antara kami yang menerima honor 300 ribu per bulan. Bahkan, banyak yang menerima setengahnya, karena tiap kelas kurang dari 10 siswa. Jangan buru-buru menuduh kepala sekolah gagal dalam managemen pengembangan. Namun tidak ada pilihan berkembang bagi sekolah yang berdiri di sebuah desa yang masih hijau dengan sungai, sawah, dan hutan yang mengelilingi pemukiman warga. Dalam radius 1-2 km2, jumlah bayi baru tidak lebih dari 10 nyawa setiap tahun.
Lain lagi dengan sekolah yang memiliki idealisme mengabdi kepada masyarakatnya, meneruskan cita-cita besar para pendiri. Nasib para guru idealis ini, tentu berbeda dengan guru-guru lain dengan idealisme mengembangkan sekolah modern yang bermutu tinggi. SD unggulan seringkali tidak punya pilihan memarginalkan pelayanan kepada masyarakat sekitar. Sekolah mahal tidak mungkin mengandalkan jangkauan murid terbatas satu kalurahan. SD/MI unggulan memiliki jangkauan satu kota, lebih dari 3-5 kecamatan di sekitarnya.
Nah, bagi SD/MI yang memilih mengabdi kepada para tetangga satu kalurahan, memiliki persoalan biaya untuk naik pangkat menjadi unggulan. Tentu saja, ‘infaq’ yang diterima menyesuaikan para tetangga, bukan hasil hitungan idealisme kepala sekolah. Kemudian, honor yang diterima tiap bulan, kembali kepada hitung-hitungan di atas, walaupun berhasil memiliki siswa yang lebih dari cukup. Kami memilih barokah mengabdi kepada ‘tanah air’ sekolah, bukan kami tidak mampu mengkonsep sebuah sekolah unggulan. Jika tidak, kami hanya akan menjadi institusi sombong di tengah komunitas yang penuh kekurangan.
Di sinilah, peran negara telah lama ditunggu-tunggu oleh para guru swasta. Celakanya, tidak ada calon presiden yang menjanjikan kesejahteraan kepada kami. Memang, kami adalah tanggung jawab yayasan. Sekolah kami sekolah swasta milik yayasan, bukan milik pemerintah. Namun, bukankah puluhan tahun lalu, para tokoh masyarakat bergotong royong membangun gedung sekolah, karena program SD Inpres yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang? Ingat, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara. Segala bentuk pendidikan yang dilegalkan oleh perundang-undangan seharusnya kehidupannya dijamin negara. Tentu saja, jika berfikir benar, yang pertama-tama adalah kehidupan kami.
Memang, jauh beruntung teman-teman kami yang mengajar di beberapa kabupaten/kota yang kaya raya. Sebagian mereka mendapat tunjangan yang lumayan untuk hidup. Tunjangan yang membuat mereka memiliki harga diri sebagai guru. Namun, di daerah kami yang memiliki PAD jauh lebih kecil berlipat-lipat belanja PNS, dari manakah kami mengharapkan tunjangan serupa?
Jawabannya hanya satu, APBN yang sanggup memberikan DAU berlipat-lipat dari nilai PAD kota kami. Kota yang di’stempel’ bangkrut oleh Kementerian Keuangan. Berapa? Tentu saja, permintaan kami tidak berlebihan. Tapi, jika UMR dianggap terlalu mahal, bolehlah UMR dikurangi dengan rata-rata honor kami yang tidak sampai 300 ribu. Yang penting, seharusnya lebih dari uang lauk pauk yang diterima PNS. Uang itu kecil sekali dibandingkan dengan anggaran pendidikan 20 % APBN.
Ya, selama ini kami menerima tunjangan fungsional 6 bulan sekali. Nah, atas nama kemanusiaan tunjangan fungsional seharusnya cair setiap bulan, dan naik 3-4 kali lipat. Agar nilainya sedikit pantas, harus lebih dari 2 kali lipat. Kami memang bukan PNS, tapi tetap saja hati kami menjerit saat uang pajak digunakan untuk program remunerasi di berbagai kementerian dan lembaga negara. Gaji PNS naik tiap tahun, lalu tunjangan kami 250 ribu per bulan tak bergerak naik. Perjuangan buruh pun telah menemui hasil, lalu tidakkah negara melihat posisi marginal kami? Kami tidak mungkin mendemo yayasan, kami hanya punya pilihan mengetuk pintu hati para penguasa.
Bukankah pemerintah telah memberikan tunjangan profesi kepada guru-guru swasta? Memang benar, kami memiliki hak yang sama dengan guru-guru PNS terkait sertifikasi guru. Namun, bolehlah kami meminta status yang sama, soal gaji walaupun nominalnya jauh berbeda. Tunjangan profesi yang kami terima pun jauh berbeda nominalnya karena seretnya program inpassing (penyetaraan golongan). Tunjangan profesi juga belum bisa cair setiap bulan. Kami yang hanya punya gelar diploma harus menunggu umur 50 tahun untuk masuk daftar tunggu sertifikasi. Kuliah bagi kami yang tinggal ratusan kilo dari kampus, kiranya hal yang sangat sulit. Terakhir, kami yang telah sarjana pun masih menunggu daftar panjang. Setelah mencari guru professional pun, kami harus sabar menunngu pencairan tunjangan profesi yang seringkali terjebak macet di jalan.
Akhirnya, kami selalu berdoa panjang agar memiliki seorang Presiden. Ya, Presiden kami para guru swasta. Mudah-mudahan terkabul di 2014.

Sumber :http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/377/215157/mencari-presiden-untuk-guru-swasta

Post a Comment

0 Comments