Pendidikan
merupakan jembatan emas menuju perubahan. Melalui pendidikan, seseorang
diajarkan untuk tidak didikte keadaan, ia juga diajari cara mengubah
keadaannya dan keadaan orang lain. Dalam sejarah Indonesia sendiri telah
terlihat bagaimana dengan adanya pendidikan timbul kesadaran akan
ketertinggalan dan ketertindasan. Dengan rasa ketertinggalan dan
ketertindasan ini muncullah sebuah cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dari
pendidikan ini pula lahir tokoh-tokoh pribumi yang cerdas dan siap
untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Ditulis Oleh :Dedi Irwanto, Pada Tanggal : 17 - 10 - 2012 | 06:52:12
Jika
melihat kondisi Indonesia dengan problematika ekonomi, sosial dan
politik saat ini, bisa jadi pendidikanlah yang menjadi kunci atas semua
permasalahan yang ada. Namun pendidikan itu sendiri saat ini diterpa
berbagai masalah. Seperti yang dikatakan Boediono pada harian kompas 29
Agustus 2012 dimana sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas
mengenai substansi pendidikan, sehingga memasukkan apa saja yang
dianggap penting ke dalam kurikulum.Hal ini secara bersamaan menambah
beban bagi peserta didik, bahkan tidak jelas apakah mereka mendapatkan
apa yang seharusnya didapat.
Sejenak
menengok ke masa lalu, Pada awal abad ke-20. Saat itu, masyarakat
pribumi umumnya buta huruf latin, mereka hanya mampu membaca huruf Arab
Al-Quran, huruf Arab Melayu, atau huruf daerah. Hal ini menunjukkan
kuatnya pengaruh ulama dan pesantren dalam mencerdaskan bangsa ditengah
kolonialisme yang membatasi akses pendidikan bagi masyarakat pribumi –
kaum bangsawan, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja saja
– setelah kebutuhan terpenuhi maka sekolah di tutup. Ajaran pesantren
telah meniadakan rasa etnoregional dan menjadikan Islam sebagai simbol
gerakan nasional. Dengan kata lain, pengaruh ajaran ulama mengubah jiwa
sukuisme atau rasisme menjadi nasionalisme. Gambaran Prof. Dr. Sartono
Kartidirdjo ini menunjukan bahwa ulama membina pesantren tidak hanya
sebagai lembaga pendidikan agama dalam arti sempit, tetapi juga berperan
dalam membangun character and national building yang tentunya sangat dibutuhkan pada masa itu sebgai bentuk kesadaran untuk membangun perlawanan terhadap kolonialisme.
Selanjutnya
pada masa Tanam Paksa yang melahirkan kemiskinan, kebodohan, rendahnya
nilai kesehatan, rusaknya akidah, serta kesengsaraan pada masyarakat.
Pada masa itu kondisi petani sangat memprihatinkan, masyarakat kelaparan
dan terkena berbagai wabah penyakit yang berdampak pada meningkatnya
jumlah kematian. Selain itu tanah garapan para petani disita dan
dimiliki oleh investor. Kondisi ini semakin parah karena para petani
tidak mendapatkan perlindungan, bahkan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
mengatakan bahwa para penguasa pribumi dari lurah sampai bupati serta
para penguasa asing bertindak sebagai penindas dan koruptor. Melihat
kondisi ini memicu berdirinya Persyarikatan Muhammaddiyah sebagai upaya
pengembalian akidah bersumber Al-Quran dan As Sunnah yang dirusak oleh
upaya pemiskinan dan pembodohan melalui sistem Tanam Paksa.
Jika
melihat fakta sejarah di atas kita dapat melihat bahwa arah pendidikan
diutamakan pada pembentukan karakter agar masyarakat memahami kondisinya
dan memiliki semangat agar terbebas dari belenggu penjajah. Kedua poin
ini lah yanng menjadi prioritas agar tujuan dan cita-cita kemerdekaan
dapat tercapai. Pada pesantren atau pun sekolah Muhammadiyah tidak
memberatkan peserta didik dalam mencari ilmu, dalam arti, mereka tidak
dibebankan dengan materi yang banyak. Bahkan pada saat mendirikan
Tamansiswa, Ki Hajar Dewantara dalam salah satu asas taman siswa ia
memberikan kemerdakaan untuk mandiri dalam mencari ilmu pengetahuan yang
diperlukan baik untuk lahir, batin atau umum.
Masalah
lain pendidikan yang ada pada saat ini adalah aspek nasionalis, dimana
melalui pendidikan sebuah bangsa/negara menggalang ketahanan nasional,
identitas dan semangat kebangsaannya. Namun pemerintah malah mendirikan
Sekolah Bertaraf Internasional. Ironisnya, sekolah berlabel
internasional ini hanya sekolah bertarif mahal dan bukan sekolah yang
berbahasa Inggris. Hal ini berbeda dengan Pondok Modern Gontor yang
tanpa label internasional namun mewajibkan santrinya untuk berbahasa
Arab dan Inggris. Hal ini juga bertolak belakang dengan salah satu asas
Tamansiswa yang berperadaban pada bangsa sendiri, artinya pendidikan
harus pula mengutamakan kebudayaan bangsa sebagai identitas. Pendidikan
dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling bersinggungan. Bagi Ki
Hajar sendiri, pendidikan adalah cara yang dipakai untuk meneruskan
nilai-nilai kebudayaan dari satu generasi ke generasi lainnya, sedangkan
kebudayaan itu sendiri merupakan semangat yang menjiwai pendidikan.
Pendidikan
kita saat ini belum memiliki arah dan tujuan yang jelas, beban materi
yang diterima peserta didik pun cukup berat. Akibatnya nilai dari
pendidikan itu sendiri hilang karena peserta didik merasa terbebani dan
terpaksa dalam menerima ilmu. Aspek kebudayaan pun mulai hilang yang
pada nantinya dapat pula berakibat pada hilangnya identitas bangsa.
Menghadapi itu semua tidak ada salahnya jika kita kembali mempelajari
pola pendidikan terdahulu untuk disesuaikan dengan kondisi saat ini,
sehingga kita tahu kemana arah pendidikan kita, seberapa penting
membangun nilai moral dan kebudayaan, serta bagaimana kita memerdekan
peserta didik agar dapat belajar tanpa beban dan paksaan.(Dedi
Irwanto/Wasathon.com)
0 Comments