Usiaku belum genap 5 tahun. Aku masih duduk di bangku
taman kanak-kanak. Senangnya hatiku tiap pagi menjelang Ayah sudah memandikan
aku, menggenakan seragam sekolah ke badanku. Sambil menunggu ibu selesai
membikinkan ceplok telor untuk sarapan kami, Ayah mengeluarkan vespa hijau dari
dalam rumah dan memanasinya sebentar. Setelah sarapan Ayah pun mengantarku
hingga depan sekolahan.
Aku bangga dengan Ayahaku. Teman-temanku kala itu
selalu iri padaku, karena hanya aku yang di antar ayahnya dengan mengendarai vespa.
Selebihnya hanya jalan kaki, atau bahkan berangkat sendiri dari rumah bagi yang
rumahnya dekat sekolahan. Bu guru pun selalu mengelu-elukan aku di depan kelas.
Beliau bilang aku adalah anak yang pintar dan rajin, suatu saat aku pasti sama
dengan ayahku. Menjadi seorang guru yang pintar dan rajin.
Hingga suatu malam aku tak mendapati ayahku di rumah.
Makan malam kami hanya berdua bersama ibu, sementara adik perempuanku yang baru
berusia setahun sudah terlelap dikamar. Ku tengok jendela depan barangkali saja
ayah terlambat dan muncul dari seberang jalan. Namun ibu menghampiri aku dan
menuntunku ke dalam sambil menutup daun pintu. Sesampai di ruang makan ibu
berusaha membujukku makan.
“ Ayah tidak pulang mala m ini, ada yang harus
dikerjakannya “ Tukas ibuku menyodorkan sesendok nasi ke mulutku.
“ Ayah tidur dimana, Bu ?” tanyaku dengan mulut penuh
makanan.
“ Di tempat kerjanya “ Jawab ibu singkat
“ Bukankah ayah itu mengajar, jadi tempat kerjanya kan
sekolahan. Masa’ ayah tidur di sekolahan, kan di sekolahan tidak ada tempat
tidurnya “ aku nerocos begitu saja. Ibu berhenti menyuapiku dan sedikit kesal
memintaku menyelesaikan makan malamku dulu baru berbicara lagi.
Tapi selesai makan, ibu buru-buru membereskan meja
makan. Saat aku ingin membicarakan ayah lagi, ibu memintaku untuk bersiap-siap
tidur dan tidak bertanya lagi.
Ini pagi pertamaku berangkat sekolah tanpa ayah dan
vespanya. Aku hanya diantar ibuku mengunakan sepeda onthel milik eyang yang
masih terawatt rapi. Waktu itu teman-temanku banyak yang bertanya padaku
mengapa aku tidak lagi diantar ayah, aku hanya bilang ayahku sedang sibuk
ditempat kerjanya. Sama persis dengan jawaban ibu bila aku bertanya tentang
ayah.tak hanya teman-teman, bu guru pun bertanya demikian. Saat itu ingin
sekali aku protes pada ayahku.
Saat melihatku ayah langsung menyambutku dan
menggendongku dipangkuannya. Ibu hanya menatapku nelangsa.
“ Ayah teman-temanku sudah banyak yang bertanya
mengapa ayah tidak lagi mengantarku sekolah?” tanyaku pada ayah. Kulihat ayah
tersenyum tipis sekali.
“ Iya, maafkan ayah”
“Kata ibu, ayah sibuk ya?”
“ Iya”
“ Tapi besok ayah tidak sibuk lagi kan ?”
Kutatap kedua mata ayah meminta jawaban ayah. Dulu
saat aku memintanya agar mengantarku berjalan-jalan ke pasar malam dia selalu
mengiyakan dengan semangat. Tetapi saat ini ayah tidak bagitu. Saat aku
bertanya ini dan itu panjang lebar jawaban ayah hanya kata iya dan iya saja.
Tapi aku tetap tidak tahu apa yang sebenarya terjadi.
“ Ayah ? “ tukasku lagi meminta jawaban ayah.
“ Ayah akan antar kamu sekolah besok, asal kamu janji
kamu tidak boleh nakal dan harus nurut apa kata ibu”
“ Asyiiik…” sorakku melompat dari pangkuan ayah.
Malam itu ayah menemaniku tidur, membacakan cerita
untukku, dan beberapa kali memintaku berjanji agar menjadi anak yang baik dan
tidak merepotkan ibu. Entah ayah berbicara apa saja, aku tak dengar semuanya
karena aku mulai mengantuk dan tertidur.
Pagi ini begitu menyenangkan. Aku sudah rapi dan
melahap makananku di meja makan bersama ayahku. Namun ibu tidak menemani kami.
Mungkin ibu masih repot mengurusi adikku, sementara eyang masih sibuk berbenah
barang-barangnya semalam.
“ Ayah, teman-teman yang tidak menyukaiku selalu
mengatakan bahwa ayah tidak akan pernah lagi mengantarku sekolah. Benarkah itu
yah ?” tanyaku saat ayah telah memboncengku menuju sekolahan.
“ engh… nah ini ayah kan antar kamu ke sekolah “
sanggah ayah sambil berfikir, sepertinya ayah memikirkan hal lain.
“ Besok gimana yah?” tanyaku sekali lagi. Ayah seperti
diberondong peluru dan dia hanya diam saja.
Sesampai di halaman sekolah ayah menurunkan aku. Kali
ini dia juga ikut turun dan mengantarku hingga halaman kelasku. Masih pagi dan
belum banyak temanku yang datang. Suasana masih sepi. Ayah berjongkok dan
mengusap rambutku. Entahlah, tatapannya itu seolah hendak pergi jauh dan tidak
kembali lagi. Jantungku berdetak kencang. Ada apa ini ?
“ Ayah sayang kamu, nak. Tapi ayah harus mengatakan
ini padamu. Ayah harus pergi “
“ Kemana, Yah ?” jawabku polos, ayah tidak sekali dua
kali pergi. Tapi sekarang ayah mau pergi kemana, mengapa harus pamit padaku?
Biasanya cukup ibu yang menyampaikan kalau ayah pergi karena ada kerjaan.
“ Nantilah kau akan tahu bila sudah saatnya nanti,
tapi ayah akan selalu menengokmu “
Aku tak faham. Aku hanya bisa diam saja. Mata ayahku berkaca-kaca.
Apa maksud ayah dengan kata-kata menengokku?.
“ Sekarang kau belajarlah yang rajin, ayah pasti
bangga punya anak yang pintar sepertimu “ tukas ayah mengusap rambutku kemudian
dia berdiri dan perlahan beranjak pergi. Aku membuntutinya sampai dia menaiki
vespa hijaunya. “ Sudah, kamu masuk kelas sana. Teman-temanmu sudah banyak yang
datang “
“ Tapi ayah mau kemana? Aku mau setiap pagi ayah antar
aku ke sekolah seperti biasanya. Aku mau seperti teman-temanku yang lain yang
juga diantar ibu atau ayahnya “ rengekku
“ Nak, besok ibumu yang mengantarmu ke sekolah” sahut
ayah pelan namun berusaha meyakinkan aku. Suaranya sedikit bergetar.” Sudah ya,
nak. Ayah mau berangkat. Nanti ayah terlambat”
Akhirnya ayah melaju dengan vespa hijaunya
meninggalkan aku yang berdiri terpaku di halaman sekolah. Aku memperhatikan
punggung ayah sampai hilang di balik tikungan jalan. Dan saat itulah terakhir
kali ayah mengantarku sekolah. Saat itulah aku tak lagi melihat ayah menemaniku
belajar,t idur, makan, atau bahkan bermain. Aku benar-benar kehilangan sosok ayah yang
selalu aku banggakan dihadapan teman-temanku. Yang selalu aku buatkan puisi
tiap kali ibu guru memberikan tugas membuat puisi. Bahkan setelah semua ini aku
sering berkelahi dengan teman-temanku lantaran mereka bilang ayahku tidak
sayang lagi padaku karena tidak lagi mengantarku sekolah.
Kutanya pada ibu berkali-kali mengapa ayah tidak
pernah pulang lagi. Setiap hari dan terus kutanya tentang itu. Tapi ibu tetap
tidak memberiku jawaban yang pasti. Hingga kudapat dengar dari tetangga kami
yang juga orangtua temanku bahwa ayah dan ibu sebenarnya sudah bercerai. Apa
itu bercerai pun aku masih belum faham. Tapi yang membuat aku sakit hati dan
berkelahi dengan teman-temanku lantaran mereka mengatakan ayah punya istri dan
anak lagi di tempatnya bekerja.
Sejak saat itu, aku merasa begitu kecewa dengan ayah.
Hari demi hari terus berlalu, hingga aku mengerti betul apa itu sebuah
perceraian. Sesuatu yang kumaknai penderitaan bagi aku dan adikku, atau
kekecewaan
(BERSAMBUNG)
0 Comments