Seutama-utama amal, adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam sanubari
saudaranya, dengan membebaskannya dari kesulitan, ..... (sabda Nabi
al-Musthafa)
Sebuah masa, ketika saya duduk di bangku SMP.
"Mas Ento", biasa saya menyebutnya. Seorang lelaki yang tidak lagi muda, penjual bakso keliling di desa tempat saya tinggal. Keriput kulit begitu nyata terukir di wajah legam tanpa ekspresinya. Jarang sekali beliau tersenyum, hanya sepatah kata khasnya yang sering singgah menyapa saya "Ento", sebuah kata yang diucapkannya ketika saya meminta "Mas, jangan pakai kecap yah!". Karena beliau orang jawa, "henteu" yang berarti "tidak" dalam bahasa Sunda itu terucap "Ento".
Sebenarnya baksonya tidak seenak 2 penjual bakso rivalnya, itulah mengapa jarang sekali pembeli menghentikannya. Hanya karena rasa iba, saya menjadi langganannya. Sering saya melihatnya termenung sendiri dibawah pohon jambu dekat lapangan tempat banyak anak-anak bermain. Setiap rivalnya datang, dia bergegas seperti ketakutan membawa dagangannya yang tanpa roda itu pergi. Saya pernah bertanya tentang hal ini kepadanya, namun seperti biasanya dia diam dan beralih menanyakan berapa porsi bakso yang ingin saya beli.
Akhirnya saya mendapatkan jawabannya sendiri. Tidak perlu lagi saya bersusah payah bertanya. Saya tahu kenapa senyumannya mahal terkembang. Saya sangat faham, pias wajah ketakutan yang membayang ketika rivalnya datang. Saat itu, di tempat sepi saya menyaksikan sebuah episode kedzaliman. Rivalnya melakukan sebuah hal yang sungguh tidak dapat saya fahami. Mangkuk-mangkuk bakso milik mas Ento menjadi terserak dijalanan, belum lagi botol-botol itu, bulatan-bulatan bakso terhambur dari tempatnya. Kuahnya tumpah mengenai kakinya yang tak lagi sempurna berjalan. Tanpa beban, sang rival melenggang pergi meninggalinya banyak kepedihan. Ingin sekali saya meneriakinya "kurang ajar", tetapi melihat sosoknya yang besar membuat saya hanya mematung, meski hati saya ribut tidak karuan.
Sejak peristiwa tadi saya tidak pernah lagi mendengar kata "Ento" terucap darinya, karena beliau tidak pernah lagi datang. Hanya sang rival yang kerap menghadiahi tatapan tajam yang saya jumpai selanjutnya.
Setiap teringat mas Ento, saya pasti berguman dengan ungkapan yang saya adopsi dari sebuah puisi "Maafkan saya tuhan, di depan saya ada orang yang di zalimi tetapi saya tidak menolongnya".
***
Suatu saat menjelang siang,
Seorang bocah kecil pengamen, berdiri di dalam bis menghadap para penumpang. Udara terik menyengat, matahari galak sekali. Suara paraunya menggema di bis yang akan membawa saya ke terminal leuwi panjang, Bandung. Beberapa lagu diperdengarkannya kepada kami. Saya memandangnya sayang, tangannya hanya satu yang sempurna, tangan sebelah kiri buntung sampai sikut. Mungkin karena itulah hampir semua penumpang memasukkan uang ke dalam bekas bungkus kemasan aqua gelas yang diedarkannya. Saya yang duduk dibelakang dapat menyaksikan binar mata kegembiraan sang bocah yang mengaso dekat pintu.
Bis sudah masuk terminal, penumpang telah banyak turun. Si kondektur menyeret bocah tadi hampir tepat di hadapan saya. "Sini!!" bentak lelaki bertopi itu, tangannya meraih paksa tempat uang si bocah. Dengan tersenyum dia menghitung, dan tanpa beban dia mengembalikan wadah kosong ke tangan sang bocah. Dan lagi-lagi saya tidak berbuat apa-apa atas sebuah epsiode durjana. Saya hanya diam, meski hati ini juga ribut tak karuan. Sebetulnya ingin sekali saya membelanya, namun melihat wajah sangar berbadan kekar, keberanian saya surut. Saya menatap wajah pasrah itu. "Ngga apa-apa mba, sudah biasa". Itu yang diucapkan si bocah sebelum pergi.
Jika sudah begitu, tak ada yang dapat menentramkan hati kecuali sebuah doa ampunan, "Maafkan saya tuhan, di hadapan saya ada mahlukmu yang dizalimi, tetapi saya tidak mampu berbuat apa-apa".
Jika kita renungkan saat ini, jari ditangan tak akan mampu membilang episode-episode kezaliman. Amerika yang begitu pongah mengobrak-abrik Afghanistan. Bom-bom cluster yang tercurah, mengoyak banyak tubuh manusia. Ujudnya nyata kita saksikan di layar televisi. Mereka yang direnggut nyawa dengan cara demikian, adalah saudara kita. Bukankah Mereka juga shalat, puasa dan berdoa kepada Allah yang maha Akbar, sama sepert kita.
Belum lagi Irak, yang oleh Amerika dimasuki jantung kotanya dengan begitu mudah. Tak terhitung penduduknya harus rela dijemput maut oleh rudal-rudal canggih berkedok pembebasan tirani Saddam. Kita pandang mayat-mayat mereka yang sudah tidak lagi utuh. Kita sangat tahu, mereka adalah saudara kita, bukankah nabi mereka sama dengan yang kita junjung?. Dan tentu saja yang paling akrab dengan kedzaliman adalah Palestina. Hanya batu yang para pemuda punya, sementara yahudi berartileri hebat. Dan para ibunda di sana, harus siap kapan saja menyongsong kabar indah kematian para putranya. Sekali lagi, yang diusir hina dari negerinya yang sah oleh Israel, adalah saudara kita. Bukankah sesama muslim adalah saudara?.
Kita saksikan banyak kedzaliman, kita menyantapnya setiap hari dari berita-berita dunia. Apa kabar kita? Merasakan pedihnya jugakah? Mereka adalah bagian anggota tubuh yang perih, seharusnya kita sebagai satu tubuh juga demikian.
Nabi bersabda, ketika kemungkaran berada dihadapan, cegahlah dengan tangan, itulah seutama-utamanya iman. Jika belum mampu, sergahlah dengan lisan yang kita punya. Dan yang terakhir, bencilah dengan hatimu, berdoalah dan nabi melabelkan hal ini dengan iman yang paling lemah.
Mungkin, keberanian yang saya punyai alakadarnya saja. Tetapi, mudah-mudahan tidak dengan para sahabat sekalian. Jika kezaliman terbentang dihadapanmu, jangan pernah seperti saya, yang hanya menggumankannya dalam hati. Sebuah tanda nyata, tentang keimanan yang paling lemah, tentu saja.
*Untuk fitri psiko98, barakallah
Kiriman :mahabbah12@yahoo.com
Sumber : Eramuslim - Publikasi 04/07/2003 10:38 WIB
Sebuah masa, ketika saya duduk di bangku SMP.
"Mas Ento", biasa saya menyebutnya. Seorang lelaki yang tidak lagi muda, penjual bakso keliling di desa tempat saya tinggal. Keriput kulit begitu nyata terukir di wajah legam tanpa ekspresinya. Jarang sekali beliau tersenyum, hanya sepatah kata khasnya yang sering singgah menyapa saya "Ento", sebuah kata yang diucapkannya ketika saya meminta "Mas, jangan pakai kecap yah!". Karena beliau orang jawa, "henteu" yang berarti "tidak" dalam bahasa Sunda itu terucap "Ento".
Sebenarnya baksonya tidak seenak 2 penjual bakso rivalnya, itulah mengapa jarang sekali pembeli menghentikannya. Hanya karena rasa iba, saya menjadi langganannya. Sering saya melihatnya termenung sendiri dibawah pohon jambu dekat lapangan tempat banyak anak-anak bermain. Setiap rivalnya datang, dia bergegas seperti ketakutan membawa dagangannya yang tanpa roda itu pergi. Saya pernah bertanya tentang hal ini kepadanya, namun seperti biasanya dia diam dan beralih menanyakan berapa porsi bakso yang ingin saya beli.
Akhirnya saya mendapatkan jawabannya sendiri. Tidak perlu lagi saya bersusah payah bertanya. Saya tahu kenapa senyumannya mahal terkembang. Saya sangat faham, pias wajah ketakutan yang membayang ketika rivalnya datang. Saat itu, di tempat sepi saya menyaksikan sebuah episode kedzaliman. Rivalnya melakukan sebuah hal yang sungguh tidak dapat saya fahami. Mangkuk-mangkuk bakso milik mas Ento menjadi terserak dijalanan, belum lagi botol-botol itu, bulatan-bulatan bakso terhambur dari tempatnya. Kuahnya tumpah mengenai kakinya yang tak lagi sempurna berjalan. Tanpa beban, sang rival melenggang pergi meninggalinya banyak kepedihan. Ingin sekali saya meneriakinya "kurang ajar", tetapi melihat sosoknya yang besar membuat saya hanya mematung, meski hati saya ribut tidak karuan.
Sejak peristiwa tadi saya tidak pernah lagi mendengar kata "Ento" terucap darinya, karena beliau tidak pernah lagi datang. Hanya sang rival yang kerap menghadiahi tatapan tajam yang saya jumpai selanjutnya.
Setiap teringat mas Ento, saya pasti berguman dengan ungkapan yang saya adopsi dari sebuah puisi "Maafkan saya tuhan, di depan saya ada orang yang di zalimi tetapi saya tidak menolongnya".
***
Suatu saat menjelang siang,
Seorang bocah kecil pengamen, berdiri di dalam bis menghadap para penumpang. Udara terik menyengat, matahari galak sekali. Suara paraunya menggema di bis yang akan membawa saya ke terminal leuwi panjang, Bandung. Beberapa lagu diperdengarkannya kepada kami. Saya memandangnya sayang, tangannya hanya satu yang sempurna, tangan sebelah kiri buntung sampai sikut. Mungkin karena itulah hampir semua penumpang memasukkan uang ke dalam bekas bungkus kemasan aqua gelas yang diedarkannya. Saya yang duduk dibelakang dapat menyaksikan binar mata kegembiraan sang bocah yang mengaso dekat pintu.
Bis sudah masuk terminal, penumpang telah banyak turun. Si kondektur menyeret bocah tadi hampir tepat di hadapan saya. "Sini!!" bentak lelaki bertopi itu, tangannya meraih paksa tempat uang si bocah. Dengan tersenyum dia menghitung, dan tanpa beban dia mengembalikan wadah kosong ke tangan sang bocah. Dan lagi-lagi saya tidak berbuat apa-apa atas sebuah epsiode durjana. Saya hanya diam, meski hati ini juga ribut tak karuan. Sebetulnya ingin sekali saya membelanya, namun melihat wajah sangar berbadan kekar, keberanian saya surut. Saya menatap wajah pasrah itu. "Ngga apa-apa mba, sudah biasa". Itu yang diucapkan si bocah sebelum pergi.
Jika sudah begitu, tak ada yang dapat menentramkan hati kecuali sebuah doa ampunan, "Maafkan saya tuhan, di hadapan saya ada mahlukmu yang dizalimi, tetapi saya tidak mampu berbuat apa-apa".
Jika kita renungkan saat ini, jari ditangan tak akan mampu membilang episode-episode kezaliman. Amerika yang begitu pongah mengobrak-abrik Afghanistan. Bom-bom cluster yang tercurah, mengoyak banyak tubuh manusia. Ujudnya nyata kita saksikan di layar televisi. Mereka yang direnggut nyawa dengan cara demikian, adalah saudara kita. Bukankah Mereka juga shalat, puasa dan berdoa kepada Allah yang maha Akbar, sama sepert kita.
Belum lagi Irak, yang oleh Amerika dimasuki jantung kotanya dengan begitu mudah. Tak terhitung penduduknya harus rela dijemput maut oleh rudal-rudal canggih berkedok pembebasan tirani Saddam. Kita pandang mayat-mayat mereka yang sudah tidak lagi utuh. Kita sangat tahu, mereka adalah saudara kita, bukankah nabi mereka sama dengan yang kita junjung?. Dan tentu saja yang paling akrab dengan kedzaliman adalah Palestina. Hanya batu yang para pemuda punya, sementara yahudi berartileri hebat. Dan para ibunda di sana, harus siap kapan saja menyongsong kabar indah kematian para putranya. Sekali lagi, yang diusir hina dari negerinya yang sah oleh Israel, adalah saudara kita. Bukankah sesama muslim adalah saudara?.
Kita saksikan banyak kedzaliman, kita menyantapnya setiap hari dari berita-berita dunia. Apa kabar kita? Merasakan pedihnya jugakah? Mereka adalah bagian anggota tubuh yang perih, seharusnya kita sebagai satu tubuh juga demikian.
Nabi bersabda, ketika kemungkaran berada dihadapan, cegahlah dengan tangan, itulah seutama-utamanya iman. Jika belum mampu, sergahlah dengan lisan yang kita punya. Dan yang terakhir, bencilah dengan hatimu, berdoalah dan nabi melabelkan hal ini dengan iman yang paling lemah.
Mungkin, keberanian yang saya punyai alakadarnya saja. Tetapi, mudah-mudahan tidak dengan para sahabat sekalian. Jika kezaliman terbentang dihadapanmu, jangan pernah seperti saya, yang hanya menggumankannya dalam hati. Sebuah tanda nyata, tentang keimanan yang paling lemah, tentu saja.
*Untuk fitri psiko98, barakallah
Kiriman :mahabbah12@yahoo.com
Sumber : Eramuslim - Publikasi 04/07/2003 10:38 WIB
0 Comments