Awalnya ayah selalu dating tiap bulan sekali walau tidak pernah menginap dirumah. Dan aku sangat bahagia ayahpun mengambilkan raporku di sekolahan bersama orangtua teman-temanku yang lain. Ayah juga mengajakku membeli sepatu dan seragam baru untukku saat kenaikan kelasku dan adikku yang baru masuk taman kanak-kanak. Hanya sebatas itu saja, selebihnya ayah tidak memiliki waktu lagi untuk menemani kami bermain atau sekedar mengajak kami berjalan-jalan. Dua tahun pun berlalu. Ayah semakin jarang mengunjungi kami.
Hingga suatu hari sepulang aku sekolah, kulihat ayah sedang berbicara serius dengan ibuku. Aku terhenti di pintu depan lantaran mendengar suara ibu sedikit terisak. Ada apa ini? Kenapa ibu sepertinya menangis. Kuurungkan untuk masuk dan hanya berdiri diluar dekat jendela. Dari sana aku melihat punggung ayah dan mendengar suaranya tak selembut dulu pada kami.
“ Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini sampai ke pengadilan. Kita selesaikan secara kekeluargaan. Haris ikut saya dan kamu masih punya Zuli “ Suara ayahku terdengar
“ Apa yang sedang ada dikepalamu sekarang? Mengapa baru sekarang kamu terpikirkan tentang ini!” suara ibu mulai terdengar
“ Lis, ini tentang masa depan Haris. Kau hanya mengandalkan uang pensiunan orang tuamu. Mana mungkin kau bisa membesarkan kedua anak kita, menyekolahkan mereka sampai perguruan tinggi, dan memenuhi apapun kebutuhan mereka”
“ Aku sudah tahu betul apa yang ada dikepalamu. kau keberatan ya kalau mesti mengirimkan uang biaya sekolah untuk anak-anakmu? Kau berpikir bila Haris ikut denganmu kau tidak perlu lagi memberikan tunjangan untuk kami. Benar kan?”
“ Kau tidak pernah berubah, fikiranmu selalu negative tentang aku”
“ Lantas apa?”
Aku baru mendengar pertama ini ayah dan ibuku berbicara satu sama lain dengan nada sengit dan penuh benci. Aku terduduk memeluk lututku dibawah jendela ketakutan. Aku takut sekali. Ayah dan ibuku bertengkar didalam. Mereka bahkan tidak menyadari keberadaanku yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka.
“ Kau tidak perlu mengunjungi anak-anakmu lagi. Kau bahkan tidak perlu memberikan tunjangan apapun pada mereka. Aku akan bekerja keras membanting tulang untuk mereka. Kau pergi saja dan urus istri barumu!”
Apa! Benarkah yang aku dengar ini kalau ayah memiliki istri lagi? Lalu bagaimana dengan ibu? Bukankah ibu itu istri ayah? Ya Allah, apa yang terjadi dengan kedua orang tuaku? Mengapa aku tidak tahu apa-apa.
“ Aku tidak bisa melakukan itu karena itu sudah kesepakatan didepan meja hijau saat kita bercerai” ucap ayah suaranya mulai mereda
“ Ya aku juga tahu kau melakukan ini semua karena kesepakatan saja , bukan karena rasa cintamu pada anak-anakmu. Kau tidak perlu khawatir lagi aku tidak akan menuntutmu untuk hal itu.” Ibu pun berujar dengan suara tenang lagi. Sesekali kulihat dia mengusap airmatanya.
“ Sudahlah Lis, aku tidak mau bertengkar lagi. Kalu memang itu yang kamu mau. Aku bisa apa?”
“ Ya, kau dapatkan apa yang kamu mau. Dan sekarang tolong tinggalkan kami”
“ apa aku tidak diijinkan menemui Haris dulu?”
“ ma’af, Haris pasti tidak ingin kau pergi. Jadi lebih baik kau pergi tanpa dia tahu “
Pembicaraan selesai. Ayah bangkit dari duduk dan menggenakan jaketnya. Sepertinya dia bersiap hendak keluar. Aku segera bangkit dan beranjak kesamping rumah. Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku telah mendengar semuanya. Karena selama ini ibu berusaha menyembunyikan semua ini dari aku dan zuli adikku.
(BERSAMBUNG)
0 Comments