Ticker

6/recent/ticker-posts

“KETIKA KISAH GURU DIANGGAP USANG”

Pagi itu, saya bermaksud melakukan sebuah penelitian di sebuah SMP swasta di timur kota Yogyakarta. Sambil menunggu melakukan observasi di dalam kelas, saya mengobrol dengan seorang guru mata pelajaran bahasa Indonesia yang juga sedang menunggu bel masuk. Dalam obrolan santai itulah saya merasakan sebuah sensasi hebat dalam hati saya ketika mendengarkan seorang guru berbicara tentang perilaku Negara, masyarakat dan para ahli pendidikan yang lebih sering menyudutkan dan mengeksploitasi seorang guru ketimbang menghargainya sebagai manusia biasa yang memiliki eksistensinya sendiri.

Sebut saja namanya pak Joko. Beliau saat ini kira-kira berumur kepala tiga. Sudah tiga tahun ini hidupnya diisi dengan berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain demi mendapatkan apa yang dinamakan sebagai sebuah kemapanan hidup. Walau begitu, apa yang dialaminya dari tiga sekolah yang pernah dijajalnya untuk bekerja tetaplah sama satu sama lain. Tekanan, gaji dan hambatan operasional yang dihadapi seorang guru tidak akan banyak berbeda dari satu sekolah ke sekolah lain. Dimanapun dan kapanpun juga posisi seorang guru tetaplah sebagai seorang pejuang (yang benar-benar) tanpa tanda jasa.
Bila di uraikan isi obrolan tersebut, ada dua ‘tersangka’ yang dikritisinya sebagai penghambat berkembangnya eksistensi guru dalam dunia pendidikan. Keduanya adalah negara dan masyarakat. Seakan keduanya saling melegitimasikan tindakan dan perilaku masing-masing yang cenderung mengeksploitasi dan memarginalisasi guru layaknya seorang manusia tertindas.
Otoritarianisme Negara dalam Pendidikan
Transformasi kebijakan seperti RUU dan kurikulum pendidikan seiring dengan pergantian penguasa dan pola kekuasaan negara ini tentu bukan barang baru bagi kita. Kita sudah sering mendengar isu tentang impermanenitas sebuah regulasi pendidikan dikarenakan adanya impermanenitas kekuasaan. “Ganti menteri ganti kebijakan”, demikian yang sering kita dengar dan saksikan sendiri.
Kendati regulasi sering berubah-ubah mengikuti iklim politik dan ekonomi Indonesia toh nasib guru tetaplah sama. Tetapi dari semua isu yang kita dengar tentu kita tidak pernah mendengar isu tentang bagaimana seorang guru harus pontang-panting beradaptasi dengan regulasi yang sering berubah-berubah. Tiap saat guru harus dipaksa untuk menerapkan dengan ideal setiap elemen regulasi dan kurikulum yang serba berubah, tidak pasti dan impermanent. Setiap saat pulalah guru harus dipaksa mengikuti pendidikan tambahan mulai dari program profesi, seminar, sarasehan, sertifikasi sampai pada kursus singkat yang diadakan pemerintah demi mengakselerasikan daya adaptasi mereka terhadap regulasi yang baru launching. Reparasi demi reparasi terus menghinggapi profesi mereka yang seakan dijadikan mesin produksi untuk menghasilkan sebuah masyarakat modern.
Terlihat sudah bahwa kesulitan yang dialami guru tidak pernah diakomodir oleh regulator dan desainer pendidikan bangsa ini. Guru dianggap sebagai barang mati yang siap dengan segala perintah dari negara. Semacam mesin yang terus diperbaiki, dimodifikasi, dan bila tetap saja rusak, akhirnya akan dibuang. Layaknya seorang penguasaha, negara pun melakukan prinsip efisiensi dan efektivitas yaitu dengan mengimplementasikan pola manajemen pendidikan yang meminimalkan biaya produksi (baca: anggaran pendidikan) dan memaksimalkan kuantitas hasil produksi (baca: jumlah lulusan).
Dalam RUU guru dan dosen, terlihat jelas tentang deskriminasi antar status guru. RUU tersebut, entah disadari ataupun tidak, telah menciptakan pengkotakan dalam masyarakat guru. Demi meminimalkan ongkos ‘produksi’ pendidikan, pemerintah hanya mengkonsentrasikan perhatiannya kepada guru negeri atau berstatus PNS baik yang bekerja di institusi sekolah milik negara maupun yang diperbantukan di sekolah swasta. Akhirnya guru swasta terutama yang masih berstatus kontrak harus tetap menjadi anak tiri dalam manajemen pendidikan. “Kerjanya sama berat tapi gajinya beda, mas”, begitu kata pak Joko.
Bila kondisi ini tidak disadari mulai dari saat ini maka bibit konflik karena kesenjangan pendapatan diantara guru akan semakin memperparah kondisi pendidikan Indonesia yang sejak lama sudah sakit. Ironisnya, di lain pihak, negara malah mengaplikasikan sebuah program profesi yang tentu kiblat konsentrasinya juga belum begitu jelas atau belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Program profesi ini akhirnya menjadi sebuah alat baru pemerintah untuk merasionalisasi tenaga guru. Dengan sedikitnya guru yang terseleksi,  maka ongkos negara untuk biaya pendidikan akan berkurang.
Prejudisme dalam Masyarakat 
Dari segala macam penderitaan yang harus dipikul guru akibat posisi mereka yang tak menguntungkan atau dengan kata lain hanya menjadi buruh bagi pendidikan ketimbang pelaku pendidikan itu sendiri, guru masih harus dihadapkan pada permasalahan lain di masyarakat.
Masyarakat ternyata dalam realitas sosial masih menempatkan guru pada label yang rendah dalam strata sosial. Guru ternyata menjadi profesi yang tidak masuk dalam hitungan. Profesi guru seakan dianggap menjadi sebuah jalan masuk menuju kepada kemiskinan baru. Apa yang dilakukan oleh masyarakat tentu bukan muncul begitu saja. Banyaknya fenomena keluarga guru yang kesulitan dalam ekonomi atau hanya menempati strata ekonomi keluarga menengah kebawah di tengah masyarakat ternyata telah membawa paradigma masyarakat untuk mengelompokan guru sebagai manusia miskin yang tidak punya pilihan dalam profesi lain. Begitu rendahnya posisi yang harus dimiliki guru semakin membuat guru menjadi tidak cukup bersemangat untuk mengabdikan dirinya dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Lihatlah wajah-wajah mereka yang loyo tapi penuh kemarahan.
Masyarakat ternyata tidak berhenti pada labelisasi guru secara ekonomi saja, guru masih juga harus rela menjadi bulan-bulanan opini publik ketika terjadi bencana pendidikan. Intelektual dan ahli pendidikan yang bisa dikatakan sebagai representasi masyarakat sering mempermasalahkan minimnya kualitas guru dalam menanggapi munculnya kegagalan pendidikan. Ramainya masyarakat menyerukan peningkatan mutu guru menjadi sebuah fenomena yang lazim ditanggapi pemerintah dengan pengadaan program demi program sertifikasi. Akhirnya guru harus kembali mengikuti alur kebijakan pemerintah dan masyarakat yang sepihak.
Sekali lagi, apa yang dirasakan dan dialami guru di tengah kebingungan dan ketersingkiran mereka ternyata juga belum disadari oleh negara dan masyarakat umum walau sudah terlalu banyak buku tentang profil guru mewacanakannya. Akhirnya, lebih mudah menyalahkan guru sebagai biang keladi ketimbang mempertanyakan mengapa guru di Indonesia mengalami degradasi mutu. Inilah resiko yang terus dihadapi guru dan entah sampai kapan akan berhenti. “Mungkin semua ini akan berhenti pada titik dimana tidak ada seorang pun akan mau menjadi guru lagi”, begitu kata saya dalam hati.
                                     

Post a Comment

0 Comments